Minggu, 14 November 2010

Bangsa ngeyel

BENCANA demi bencana seakan tak pernah membuat kita belajar dan pintar dalam menyikapi. Bencana alam beruntun yang terjadi dalam kurun waktu sebulan nyaris tak menjadikan manusia Indonesia introspeksi. Banjir bandang Wasior, erupsi Merapi, dan tsunami Mentawai  belum lagi bencana banjir, tak membuat kita jera. Bangsa kita nyaris menjadi bangsa bebal dan pasrah pada bencana, padahal tak semua bencana karena alam, tapi ada bencana berawal dari ulah manusia.

Kesalahan manusia dalam mitigasi bencana juga menjadi penyebab. Karena kecerobohan dan kelalaian kita mengelola bencana malah mengundang bencana. Kasus detektor tsunami yang tak berfungsi pada musibah Mentawai mengingatkan kita untuk tak main-main dengan nyawa manusia. Human error karena tak berfungsi sensor gelombang tsunami (bouy tsunami) mengakibatkan jatuhnya korban manusia.

Persoalannya sangat sepele-alat yang rusak yang tak kunjung diperbaiki-dan sebagian alat detektor dipretelii tangan jahil karena ingin mendapatkan keuntungan sesaat. Technical error dan human error adalah satu kesatuan yang berlaku paralel. Jika kerusakan alat diperbaiki maka, ratusan nyawa bisa selamat karena alat itu berfungsi dengan baik. Sebaliknya, budaya reaktif paling menonjol di kalangan bangsa ini disbanding budaya preventif yang diterapkan di negara antah-berantah sana.

Bangsa Indonesia selalu kaget ketika bencana datang. Reaksi sesaat seakan menjadi seremoni yang selalu berulang saban tahun. Sebelum pemerintah hadir, masyarakat telah bergerak cepat dan simultan membantu para korban. Media pun terpancing memberitakan bencana demi bencana dengan segala perkembangannya hingga soal penanganan dari masyarakat dan pemerintah. Sayangnya, ketika bencana lain muncul, maka bencana yang sebelumnya tak lagi seksi.

Indonesia yang terkenal sebagai negeri bencana tak pernah siaga dalam menghadapi bencana. Bahkan berbagai perangkat hukum tentang bencana nyaris tak berjalan. Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jalan di tempat. Demikian juga dengan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Pengurangan Risiko Bencana juga tak efektif. Bahkan dalam waktu dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana menerbitkan Inpres soal penanggulangan kebencanaan di daerah. Kita tidak bisa menakar sejauh mana efektifitas perangkat hukum jika mind seat para stake holder dan warga soal kebencanaan masih cuek?

Bencana Tanggap
Reaktif memang telah menjadi sifat Indonesia. Semua sibuk jika telah terjadi, tapi jarang sekali bergerak dan siaga sebelum bencana itu datang. Peringatan terhadap peluang bencana kerap disampaikan, tapi kita masih tetap santai pada keadaaan. Ada kecenderungan dengan kultur kita, baru percaya jika telah mengalami sendiri atau sudah di depan mata. Apalagi ada anggapan bahwa musibah itu suratan takdir dari Yang Mahakuasa.

Mitigasi dan manajemen bencana yang dirancang dan di-support berbagai lembaga nyaris tak direspons. Hanya kalangan dan komunitas tertentu yang peduli. Mitigasi bencana seakan milik PMI, Basarnas, Satlak PB atau BPBA plus pemadam kebakaran. Sementara yang lainnya mengabaikan begitu saja. Tak pelak simulasi penanggulangan hanya diikuti mereka yang peduli dan memang mengetahui bencana. Jangan salahkan masyarakat, instansi pemerintah pun acuh pada masalah itu.

Lihat saja agenda simulasi dan penggulangan bencana yang diadakan 31 Oktober 2010 lalu di Banda Aceh. Hanya beberapa instansi yang paralel dengan lembaga tertentu yang ikut. Selebihnya berdalih tak memiliki dana. Padahal anggaran APBA 2010 sendiri masih berjalan seret. Apa salahnyanya disinergikan dengan dana penanggulangan bencana. Tak akan masuk penjara hanya karena menggunakan dana sedikit untuk sosialisasi penanggulangan bencana.

Pada simulasi dan pameran bencana Minggu silam itu, tak terlihat Dinas PU, Pengairan atau Kehutanan yang bersentuhan langsung dengan bencana. Hanya ada UNDP, TDMRC, PMI, dan BPBA dan Pemadam Kebakaran. Untuk ada LSM dan beberapa dinas lain yang ikut berpartisipasi.

Pencegahan risiko bencana bagi masyarakat dianggap angin lalu. Lihat saja kasus gunung berapi. Gunung Seulawah Agam, satu dari 19 gunung berapi yang berstatus waspada. Dari 120 gunung berapi yang ada di Indonesia, Seulawah Agam sudah dua kali berstatus waspada. Tapi apa yang dilakukan pemerintah dan masyarakat sendiri?

Masyarakat sekitar dan pemerintah sendiri belum mengambil langkah apa pun, selain komentar di media massa. Ada puluhan perkampungan berada di sekitar Gunung Seulawah. Ada puluhan ribu warga dan makhluk hidup mendiami kawasan ini. Bahkan kemukiman Lamteuba persis berada beberapa kilometer dari kawah Gunung Seulawah. Bahkan bekas letusan gunung Seulawah Agam yang terjadi 500 tahun silam masih ada, seperti batu alam.

Seulawah Agam adalah gunung berapi tipe A pernah meletus dahsyat pada tahun Januairi 1839 silam. Gunung berapi setinggi 1726 meter ini merupakan satu dari tiga gunung berapi tipe teraktif di Aceh. Selain Seulawah Agam, Gunung Peut Sagoe di Pidie dan Burni Telong di Bener Meriah juga gunung api berbahaya jika meletus. Masa istirahat terpendek Seulawah Agam adalah 136 tahun. Sayangnya, antisipasi seperti persiapan jalur evakuasi masih mengkhawatirkan karena jalan utama rusak parah.

Demikian juga dengan kondisi alam Aceh. Kekisruhan soal pertambangan selama ini juga terkait dengan kekhawatiran masyarakat terhadap bencana. Keberadaan 105 izin pertambangan dari pemerintah setempat menunjukkan misi Aceh Green Pemerintah Irwandi-Nazar kontraproduktif. Satu sisi ingin menarik melestarikan hutan, sisi lain justru member peluang orang lain untuk mengekplorasi sumber daya alam demi investasi. Bagaimana pun, izin tambang di Aceh masuk tingkatan lampu kuning.

Anekdot manusia Indonesia
Melihat fenomena ini, saya teringat pada sebuah anekdot tentang bangsa Indonesia soal ‘scanning memori’ isi kepada. Dari beberapa peserta luar negeri yang di-scan, hanya milik orang Indonesia masih bersih. Isi kepala peserta dari Indonesia bersih ternyata jarang dipakai dan tampak seperti baru. Saya tidak menuduh orang Indonesia tak pernah menggunakan pikirannya, cuma ingin mengingatkan kita semua bahwa dibutuhkan pemikiran untuk mereduksi risiko bencana dan menyelamatkan bangsa.

Atau karena anekdot tersebut, pemerintah nyaris tak hadir dalam kesengsaraan para korban bencana. Kita membutuhkan kepedulian sosial yang tinggi untuk menjadi bangsa yang tanggap bencana, bukan sebaliknya bencana tanggap karena banyaknya tanggapan justru setelah terjadi bencana. Pasti tak ada maksud membiarkan manusia Indonesia berkurang karena jadi korban bencana juga karena jarang menggunakan pikiran untuk terus belajar dari berbagai pengalaman masa lalu.

0 komentar:

Posting Komentar