Rabu, 15 Desember 2010

Emosi 13 “part one”

ni dia yang namanya rona kehidupan
Terkadang kita menangis dibuatnya
Tapi tak sedikit kita tertawa dibuatnya,
Aneh jika di fikir,
Untuk apa diciptakan susah jika ada senang
Unutk mensngis jika tertawa itu lebih indah
Hai sobat,
Sekian lama kita berteman,
Tak pernah qu merasakan marah semarah ini kepadamu,
Membuat seluruh organ tubuhqu terdiam terpaku
Membuat seolah jantung malas bekerja,
Sobat,
Setelah qu tulis semua ini
Sungguh, pintu maaf tlah ku buka
Tak ada lagi rasa marah ataupun benci terhadapmu
Karena qu sadar setiap manusia pasti mempunyai khilaf,
Tapi qu hanya manusia biasa yang juga punya rasa marah
Engkau tetap engkau
Dan aqu tetaplah aqu
Dariqu untukmu sobat.

Rabu, 01 Desember 2010

Preman girly “part two”

Menyayangimu adalah anugrah terindah yang pernah qu rasakan,
Wahai preman girly qu, engkau begitu spesial di hatiqu
Engkau berbeda dari wanita lain,
Wahai preman girly qu, mampu menikmati merdunya suaramu adalah pesona dalam hidupqu,
Jauh sebelum ini terjadi,
Hati qu slalu bertanya apa yang sedang menggelayuti hati ini.
Nafsu sematakah ??
Atau memang cinta yang bersemi kembali yang telah padam setahun lamanya,
Wahai preman girly qu, ku akui ini sulit,
Bahkan sulit untuk di mengerti.
Tapi asal engkau tahu wahai preman girly qu,
ab hadir dengan niatan positif berada di sampingmu.
Jangan diam dalam bisu preman girly qu.

Rabu, 24 November 2010

Cinta tumbuh dari OTAK, bukan HATI

Peneliti dari Syracuse University, Profesor Stephanie Ortigue, menemukan, ada 12 area di otak yang bekerja saat seseorang jatuh cinta. Kedua belas area itu menghasilkan bahan kimia, seperti dopamine, oxytocin, adrenalin, dan vasopression, yang berujung pada euforia. Rasa cinta juga memengaruhi fungsi psikologis, metafora, dan penilaian fisik.
Jadi, cinta itu berasal dari hati atau otak? "Pertanyaan yang selalu sulit dijawab. Saya berpendapat, asalnya dari otak," kata Ortigue.

"Contohnya, suatu proses di otak kita bisa menstimulasi hati. Beberapa perasaan dalam hati kita sebetulnya merupakan gejala atas proses yang terjadi di otak."

Penelitian lain menunjukkan, peningkatan jumlah darah dalam faktor penumbuh untuk saraf yang memegang peranan penting dalam cara orang bersosialisasi.

Hal ini menghadirkan fenomena yang disebut dengan "cinta pada pandangan pertama". Hal ini dikonfirmasi dengan temuan Ortigue yang menunjukkan bahwa cinta bisa hadir dalam waktu seperlima detik.

Ortigue menjelaskan, dengan memahami cara orang jatuh cinta dan putus cinta, para peneliti bisa mengembangkan terapi baru. "Kita bisa mengerti penyakit putus cinta," kata Ortigue.

Studi Ortigue juga mendapati ada bagian otak yang berbeda untuk tipe cinta yang berbeda. Cinta tanpa syarat, contohnya cinta seorang ibu terhadap anaknya, dipicu oleh aktivitas otak di bagian umum dan di tempat yang berbeda-beda, termasuk otak tengah.

Cinta yang bergairah antar-kekasih melibatkan area kognitif, bagian yang mengharapkan imbalan, dan penilaian fisik.

Sumber :
zonapencarian.blogspot.com

Selasa, 23 November 2010

Cewek Begini, Cowok Begitu

Coba dicermati! Ini bukan masalah jenis kelamin, tapi soal perbedaan sikap, pandangan, cara berpikir, dll.
Cowok-cewek memang memiliki banyak perbedaan.
Dalam hal asmara, misalnya, kendati terkadang tampil pasif, ternyata cewek memiliki pengalaman bercinta lebih banyak ketimbang cowok.


Ini karena cewek ternyata lebih dewasa, mudah melupakan dan bisa menerima kenyataan -seperti- putus cinta.
Ada lagi perbedaan lainnya. Coba perhatikan sikap yang ditunjukkan cowok-cewek dalam merespon sesuatu.

Mungkin karena sifatnya yang "cuek", tidak perdulian dan jarang meneteskan air mata,
tak heran kalau cowok selalu menjadi "kambing hitam" atau pihak yang dibenci bila sebuah hubungan asmara terpaksa berakhir.
Sebaliknya, cewek selalu nampak lebih menderita akibat putus cinta.

Dalam Liking and Loving: An Invitation to Social Psychology (1973),
Zick Rubin, mengatakan bahwa cowok sebenarnya lebih rapuh, cengeng dan naif soal cinta.
Cowok selalu menjadi pihak yang merasa lebih sakit hati akibat putus cinta.
"Karena hal itu, biasanya cowok akan lebih hati-hati.
Itulah kenapa cowok memiliki pengalaman bercinta lebih sedikit dari cewek,
karena setelah putus, cowok akan sulit untuk jatuh cinta lagi," kata Rubin.

Dr. Clay Tucker-Ladd, penulis buku-buku psikologi,
mengatakan bahwa cewek selalu ingin menempatkan dirinya sebagai pasangan yang ideal.
Sebaliknya, karena pengalaman yang tidak selalu mulus, cowok kerap bersikap biasa-biasa saja.
"Kendati mudah tertarik dengan kecantikan dan kebaikan cewek,
namun sulit bagi cowok untuk menghapus rasa sakit akibat putus cinta."

Cowok, kata Rubin, lebih percaya pada romantisme.
Cowok bisa memutuskan apakah dia jatuh cinta atau tidak, hanya dengan mendengar kata hatinya.
"Sekali saja intusisi cowok berkata 'Ini dia soulmate saya' ketika bertemu seorang cewek,
maka ketika itu pula mereka akan jatuh cinta kepada cewek itu," ungkap Rubin.
"Sebaliknya, cewek selalu banyak pertimbangan dalam memutuskan sesuatu."

Kendati percaya pada romantisme, tapi jangan kaget, karena cowok kerap merefleksikan cinta mereka dengan cara yang tidak romantis.
"Cowok akan lebih menghargai cewek yang rajin mencuci piring dan pakaian ketimbang cewek yang menghujaninya dengan ciuman.
Padahal cewek justru menginginkan sebaliknya."
Bila disarankan untuk membahagiakan pacar atau istri, maka harap maklum, karena cowok akan lebih suka mencucikan mobil pacar atau istri daripada memberi pelukan dan ciuman.
Dalam memandang keintiman, misalnya, cewek menerjemahkan keintiman sebagai ngobrol berdua di tempat redup atau makan malam di sebuah restoran sepi dengan candle light.
Tetapi bagi cowok, keintiman itu artinya kerja bakti, alias melakukan sesuatu bersama-sama. ( ngerti lah apa yang vi maksud )

Cewek selalu memiliki tenggang rasa dan lebih bisa menjaga hubungan.
Sedangkan cowok selalu "cuek" dan main "hantam kromo" atau “lantak laju”.
Cewek selalu memikirkan bagaimana cara membagi penghasilannya dan cowoknya untuk dia sendiri, keluarga dan teman-teman. Sedangkan cowok, tak pernah mau pusing dengan masalah duit.

Cewek biasanya lebih cerewet.
Cewek juga sering mengeluh soal hubungan dan masalah yang dihadapi.
Sedang cowok tidak begitu peduli dan selalu menganggap semuanya biasa-biasa saja.
Cewek selalu ingin menyelesaikan masalah dan perbedaan pendapat yang ada dengan tuntas,
sedang cowok justru ingin melupakannya.

sumber: http://www.facebook.com/profile.php?id=100000437337697&v=app_2309869772#!/note.php?note_id=384577815909&id=100000437337697

Kamis, 18 November 2010

Hati-Hati, Playboy Berumur Pendek!

SEORANG playboy akan mati-matian memberi kesan hebat saat kencan pertama. Tujuannya, agar bisa membuat kaum hawa terpincut pesonanya. Apakah kehebatan yang ditampilkan itu jujur atau palsu, itu urusan nanti, yang penting rencana jangka pendek terpenuhi.

Namun jangan senang dulu, jika Anda seorang playboy, waspadalah! Pasalnya, Anda mungkin akan meninggal lebih awal. Begitu kata para peneliti.

Sebuah studi baru yang dipimpin oleh University of New South Wales mengklaim, bahwa pria yang terfokus mengejar beberapa wanita biasanya pertumbuhannya terhambat dan meninggal muda. Pasalnya, mereka dapat mengabaikan kebutuhan utama seperti makan.

Temuan itu menunjukkan, bahwa pergaulan laki-laki tidak lebih umum, walaupun memiliki potensi keuntungan berevolusi karena hal itu mengikuti keterbatasan alam. Demikian laporan Journal of Evolutionary Biology yang dinukil dari Times of India, Jumat (5/11/2010).

Kepala peneliti Alex Jordan mengatakan, "Mungkin ini cara alam menceritakan laki-laki yang akan lebih setia kepada pasangan seksual mereka. Kami bertanya-tanya mengapa dunia bukanlah tempat yang lebih kacau."

"Untuk pria, terutama yang telah menikah dengan sejumlah wanita memiliki keberhasilan bereproduksi dengan hebat, sehingga Anda akan berpikir bahwa aturan tersebut harus lebih baik. Bahkan, penelitian kami menunjukkan bahwa laki-laki membayar biaya yang signifikan terhadap pergaulan yang menempatkan batasan jumlah pasangan seksual mereka sepanjang masa hidupnya."

Untuk penelitian ini, para peneliti melakukan uji coba perilaku ikan-ikan tropis, serta memeriksa biaya reproduksi pria seumur hidupnya. Ini menjadi studi pertama yang melibatkan hewan vertebrata.

Pria dari banyak spesies meningkatkan upaya reproduksi mereka dengan teman-teman asing, sehingga menjadi sebuah fenomena yang dikenal sebagai efek Coolidge.

Ketika ikan jantan secara teratur dipasok dengan ikan perempuan asing yang baru sepanjang hidup mereka, mereka menghabiskan waktu lebih sedikit mencari makanan dan lebih banyak waktu mengejar betina. Pria yang hidup dengan perempuan asing juga tumbuh lebih lambat dan untuk mereka yang telah dewasa memiliki ukuran yang lebih kecil, dan cenderung lebih cepat meninggal.

Sebaliknya, laki-laki yang hidup dengan satu pasangan biasanya makan secara teratur, tumbuh terus, dan hidup lebih lama.

"Biaya besar untuk individu yang terlibat pergaulan bebas mengungkapkan pembatasan alam pada perilaku kacau, yang belum terdeskripsikan dalam vertebrata. Mungkin mereka yang menginginkan keberadaan yang lebih kacau akan melihat ini sebagai peringatan," papar Jordan.

"Kondisi itu memberitahu kita secara ilmiah bahwa evolusi pergaulan ekstrem tampaknya akan dibatasi oleh biaya fisiologis yang terlibat, meskipun pergaulan memiliki kelebihan, tapi mungkin terlalu hebat untuk jangka panjang," tutup Jordan.

Selasa, 16 November 2010

Gayus Akui Pergi ke Bali




Jakarta
- Mabes Polri memilih fokus pada pembersihan internal institusinya ketimbang menanggapi pengakuan Gayus Tambunan yang melakukan wisata ke Bali. Polisi juga telah menyelidiki tahanan lain yang sering keluar masuk tahanan Mako Brimob Kepala Dua, jauh sebelum Gayus yang menyampaikannya ke publik.

"Boleh saja katakan demikian, sekarang kita lakukan penertiban ke dalam dan kita fokus dulu jangan melebar kemana-mana," ujar Kabareksrim Polri Komjen Pol Ito Sumardi saat ditanya tanggapannya tentang Gayus yang mengakui bahwa dirinya pergi ke Bali.

Hal itu disampaikan Ito di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin (15/11/2010).

Menurut Ito, polisi sudah melakukan langkah-langkah jauh dari apa yang disampaikan oleh Gayus Tambunan tentang lima tahanan yang sering keluar masuk tahanan Mako Brimob Kelapa Dua. "Sebelum mengaku kita sudah melakukan (pemeriksaan)," kata Ito.

Ito melanjutkan, mengaku dan tidaknya Gayus melakukan perjalanan ke Bali adalah haknya dan tidak terkait dengan fakta persidangan.

"Itu bukan fakta persidangan, kalau fakta persidangan apa yang dilakukan kita balik analisa, teknis, bukti-bukti dan sebagainya," jelasnya.

Sebagai penyidik, lanjut Ito, polisi tidak akan membuka informasi ke publik fakta-fakta yang didapatkannya dalam penyidikan. "Yang jelas dalam 10 hari berkas akan dilimpahkan," kata dia.

Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Brigjen Pol I Ketut Untung Yoga menyambut baik pengakuan Gayus Tambunan. Pengakuan Gayus akan dicocokkan dengan temuan para penyidik.

"Baguslah tinggal me-matching-kan dengan temuan penyidik lainnya dan hasil keterangan asli," ujar Yoga.

Minggu, 14 November 2010

Bangsa ngeyel

BENCANA demi bencana seakan tak pernah membuat kita belajar dan pintar dalam menyikapi. Bencana alam beruntun yang terjadi dalam kurun waktu sebulan nyaris tak menjadikan manusia Indonesia introspeksi. Banjir bandang Wasior, erupsi Merapi, dan tsunami Mentawai  belum lagi bencana banjir, tak membuat kita jera. Bangsa kita nyaris menjadi bangsa bebal dan pasrah pada bencana, padahal tak semua bencana karena alam, tapi ada bencana berawal dari ulah manusia.

Kesalahan manusia dalam mitigasi bencana juga menjadi penyebab. Karena kecerobohan dan kelalaian kita mengelola bencana malah mengundang bencana. Kasus detektor tsunami yang tak berfungsi pada musibah Mentawai mengingatkan kita untuk tak main-main dengan nyawa manusia. Human error karena tak berfungsi sensor gelombang tsunami (bouy tsunami) mengakibatkan jatuhnya korban manusia.

Persoalannya sangat sepele-alat yang rusak yang tak kunjung diperbaiki-dan sebagian alat detektor dipretelii tangan jahil karena ingin mendapatkan keuntungan sesaat. Technical error dan human error adalah satu kesatuan yang berlaku paralel. Jika kerusakan alat diperbaiki maka, ratusan nyawa bisa selamat karena alat itu berfungsi dengan baik. Sebaliknya, budaya reaktif paling menonjol di kalangan bangsa ini disbanding budaya preventif yang diterapkan di negara antah-berantah sana.

Bangsa Indonesia selalu kaget ketika bencana datang. Reaksi sesaat seakan menjadi seremoni yang selalu berulang saban tahun. Sebelum pemerintah hadir, masyarakat telah bergerak cepat dan simultan membantu para korban. Media pun terpancing memberitakan bencana demi bencana dengan segala perkembangannya hingga soal penanganan dari masyarakat dan pemerintah. Sayangnya, ketika bencana lain muncul, maka bencana yang sebelumnya tak lagi seksi.

Indonesia yang terkenal sebagai negeri bencana tak pernah siaga dalam menghadapi bencana. Bahkan berbagai perangkat hukum tentang bencana nyaris tak berjalan. Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jalan di tempat. Demikian juga dengan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Pengurangan Risiko Bencana juga tak efektif. Bahkan dalam waktu dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana menerbitkan Inpres soal penanggulangan kebencanaan di daerah. Kita tidak bisa menakar sejauh mana efektifitas perangkat hukum jika mind seat para stake holder dan warga soal kebencanaan masih cuek?

Bencana Tanggap
Reaktif memang telah menjadi sifat Indonesia. Semua sibuk jika telah terjadi, tapi jarang sekali bergerak dan siaga sebelum bencana itu datang. Peringatan terhadap peluang bencana kerap disampaikan, tapi kita masih tetap santai pada keadaaan. Ada kecenderungan dengan kultur kita, baru percaya jika telah mengalami sendiri atau sudah di depan mata. Apalagi ada anggapan bahwa musibah itu suratan takdir dari Yang Mahakuasa.

Mitigasi dan manajemen bencana yang dirancang dan di-support berbagai lembaga nyaris tak direspons. Hanya kalangan dan komunitas tertentu yang peduli. Mitigasi bencana seakan milik PMI, Basarnas, Satlak PB atau BPBA plus pemadam kebakaran. Sementara yang lainnya mengabaikan begitu saja. Tak pelak simulasi penanggulangan hanya diikuti mereka yang peduli dan memang mengetahui bencana. Jangan salahkan masyarakat, instansi pemerintah pun acuh pada masalah itu.

Lihat saja agenda simulasi dan penggulangan bencana yang diadakan 31 Oktober 2010 lalu di Banda Aceh. Hanya beberapa instansi yang paralel dengan lembaga tertentu yang ikut. Selebihnya berdalih tak memiliki dana. Padahal anggaran APBA 2010 sendiri masih berjalan seret. Apa salahnyanya disinergikan dengan dana penanggulangan bencana. Tak akan masuk penjara hanya karena menggunakan dana sedikit untuk sosialisasi penanggulangan bencana.

Pada simulasi dan pameran bencana Minggu silam itu, tak terlihat Dinas PU, Pengairan atau Kehutanan yang bersentuhan langsung dengan bencana. Hanya ada UNDP, TDMRC, PMI, dan BPBA dan Pemadam Kebakaran. Untuk ada LSM dan beberapa dinas lain yang ikut berpartisipasi.

Pencegahan risiko bencana bagi masyarakat dianggap angin lalu. Lihat saja kasus gunung berapi. Gunung Seulawah Agam, satu dari 19 gunung berapi yang berstatus waspada. Dari 120 gunung berapi yang ada di Indonesia, Seulawah Agam sudah dua kali berstatus waspada. Tapi apa yang dilakukan pemerintah dan masyarakat sendiri?

Masyarakat sekitar dan pemerintah sendiri belum mengambil langkah apa pun, selain komentar di media massa. Ada puluhan perkampungan berada di sekitar Gunung Seulawah. Ada puluhan ribu warga dan makhluk hidup mendiami kawasan ini. Bahkan kemukiman Lamteuba persis berada beberapa kilometer dari kawah Gunung Seulawah. Bahkan bekas letusan gunung Seulawah Agam yang terjadi 500 tahun silam masih ada, seperti batu alam.

Seulawah Agam adalah gunung berapi tipe A pernah meletus dahsyat pada tahun Januairi 1839 silam. Gunung berapi setinggi 1726 meter ini merupakan satu dari tiga gunung berapi tipe teraktif di Aceh. Selain Seulawah Agam, Gunung Peut Sagoe di Pidie dan Burni Telong di Bener Meriah juga gunung api berbahaya jika meletus. Masa istirahat terpendek Seulawah Agam adalah 136 tahun. Sayangnya, antisipasi seperti persiapan jalur evakuasi masih mengkhawatirkan karena jalan utama rusak parah.

Demikian juga dengan kondisi alam Aceh. Kekisruhan soal pertambangan selama ini juga terkait dengan kekhawatiran masyarakat terhadap bencana. Keberadaan 105 izin pertambangan dari pemerintah setempat menunjukkan misi Aceh Green Pemerintah Irwandi-Nazar kontraproduktif. Satu sisi ingin menarik melestarikan hutan, sisi lain justru member peluang orang lain untuk mengekplorasi sumber daya alam demi investasi. Bagaimana pun, izin tambang di Aceh masuk tingkatan lampu kuning.

Anekdot manusia Indonesia
Melihat fenomena ini, saya teringat pada sebuah anekdot tentang bangsa Indonesia soal ‘scanning memori’ isi kepada. Dari beberapa peserta luar negeri yang di-scan, hanya milik orang Indonesia masih bersih. Isi kepala peserta dari Indonesia bersih ternyata jarang dipakai dan tampak seperti baru. Saya tidak menuduh orang Indonesia tak pernah menggunakan pikirannya, cuma ingin mengingatkan kita semua bahwa dibutuhkan pemikiran untuk mereduksi risiko bencana dan menyelamatkan bangsa.

Atau karena anekdot tersebut, pemerintah nyaris tak hadir dalam kesengsaraan para korban bencana. Kita membutuhkan kepedulian sosial yang tinggi untuk menjadi bangsa yang tanggap bencana, bukan sebaliknya bencana tanggap karena banyaknya tanggapan justru setelah terjadi bencana. Pasti tak ada maksud membiarkan manusia Indonesia berkurang karena jadi korban bencana juga karena jarang menggunakan pikiran untuk terus belajar dari berbagai pengalaman masa lalu.

Jumat, 12 November 2010

Preman Girly

Tentang dirimu, tak pernah terduga
Tersenyum manis penuh ambisi mengiris hati ini
Siapa engkau pun tak terbisik untukqu mengetahui,,
Tapi entah mengapa,, pesonamu terbawa dalam mimpiqu
Hahaha.........
Tertawa qu di buat dengan skema pesona ini,
Setiap melihat wajah mungilmu itu, hati ini seakan tak mau berontak pergi.
Terima kasih
Terima kasih telah mengizinkan qu mengagumimu di balik bingkai kaca mata itu.
Sedikit bingung dengan fakta,
Daya kritismu membuatqu pangling tak berarah,
Terperangah qu mendengar engkau mendeskripsikan kedekatan ini
Tapi percayalah, qu hanya tersenyum pada saat itu.
Takut semua berjalan jauh
Dan takut ini hanya bayang semu semata,
Qu harus mencari tahu apa maksud hati ini,
Nafsu sematakah ??
Atau benar dari hati..
Sabarlah kasih,
Karena engkau tetap preman girlly qu.


                                                                                             

Kamis, 11 November 2010

Kuatkah Wanita Bartahta?

Opini

MENGIKUTI diskusi beberapa tulisan tentang kepepimpinan wanita dan gender yang dimuat Serambi Indonesia dalam dua pekan terakhir, membuat saya tertarik untuk ikut nimbrung dalam diskusi itu. Secara umum dari beberapa tulisan tersebut--kalau saya tidak salah menyimpulkan--semua bermuara pada tuntutan bagaimana nemempatkan perempuan untuk setara dengan laki-laki dalam berbagai aktivitas, baik sebagai pemimpin maupun hak-hak sosial lainnya.

Untuk diketahui polemik kepemimpinan wanita di Aceh bukan lagi  masalah baru. Polemik mengenai boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin pernah terjadi sekitar 350 tahun yang lalu. Naiknya Ratu Safiatuddin (1641-1675 M) menjadi Sultanah di Kerajaraan Aceh Darussalam menggantikan suaminya Sultan Iskandar Sani (1636-1641 M) bukan tidak menimbulkan masalah, dengan diangkatnya Safiatuddin menjadi Sultanah di Kerajaraan Aceh telah menimbulkan polemik besar dan bahkan telah menuai konfik luar biasa di kalangan ulama Wujudiyah dan Syafiiah di Aceh kala itu. Ulama wujudiyah menentang habis kesultanan wanita di Aceh. Akan tetapi, setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) para ulama wujudiyah di Aceh tidak lagi memiliki kekuatan politis, akibat kuatnya pengaruh Syeh Nuruddin Ar-Raniry yang kala itu telah menjabat Qadhi Malikul Adil (Mufti) kerajaan Aceh sejak naiknya Iskandar Sani menjadi Sultan.

Dengan demikian, Nuruddin Ar-Raniry yang dikenal penentang wujudiyah-meskipun ia seorang ulama bermazhab Syafii yang sebenarnya juga tidak membolehkan wanita menjadi hakim dan kepala negara-tapi demi kelanjutan kedudukannya sebagai Qadhi Malikul Adil di kerajaan Aceh setelah meninggalnya Sultan Iskandar Sani,  Nuruddin Ar-Raniry melegalkan Ratu Safiatuddin naik menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan yang melantik Safiatuddin menjadi Sultanah adalah Nuruddin Ar-Raniry sendiri dalam posisinya sebagai Qadhi Malikul Adil ketika itu.

Dengan diangkatnya Ratu Safiatuddin sebagai Sultanah di Kerajaan Aceh sekaligus telah menimbulkan dua konflik besar di kalangan ulama yang sangat mengganggu jalannya roda pemerintahan kerajaan Aceh. Dua konflik itu, selain pertentangan Nuruddin Ar-Raniry yang menganggap ulama wujudiyah zindik, sehingga Nuruddin memfatwakan halal terhadap pembunuhan pengikut Wujudiyah di Aceh saat itu. Juga terjadinya konflik pro kontra para ulama terhadap pengankatan Ratu Safiatuddin sebagai Sultanah yang telah dilegalkan oleh Nuruddin Ar-Raniry memimpin kerajaan Aceh. Dua konflik yang sempat memicu pada terjadinya pertumpahan darah ini adalah nuansa politik yang tidak menyenangkan yang telah dimainkan Nuruddin Ar-Raniry dalam sejarah Aceh, di samping tidak sedikit jasa Ar-Raniry lainnya yang harus diakui selama ulama asal Ranir India ini berada di Aceh hingga tahun 1644 M.

Setelah tiga tahun kepemimpinan Safiatuddin, Nuruddin Ar-Raniry tiba-tiba menghilang dari Aceh, kembali ke negara asalnya Ranir India. Kepulangan Ar-Raniry secara mendadak ke Ranir India menurut Hujjah As Siddiq (2003) disebabkan kekalahannya dalam berargumen  masalah keagamaan dengan seorang ulama Wujudiyah Sayf ar-Rijal, yang saat itu Sayf ar-Rijal baru saja kembali ke Aceh dari Surat India setelah beberapa tahun memperdalam ilmunya di sana. Diduga akibat kekalahan itu Nuruddin Ar-Raniry merasa malu sehingga secara diam-diam ia kembali ke negaranya. Dengan demikian posisi Qadhi Malikul Adil kerajaan Aceh yang sadang berada di bawah Sultanah Safiatuddin sementara dipegang oleh Sayf ar-Rijal sebelum kemudian diangkatnya Syech Abdul Rauf Syiah Kuala sebagai Mufti besar kerajaan di masa Sultanah Ratu Safiatuddin.

Menariknya lagi, pada kepulangan Syech Abdul Rauf Syiah Kuala ke Aceh tahun 1661 M dari menutut ilimunya di tanah Arab (Mekkah) membuat kalangan istana kerajaan Aceh jadi kalang kabut. Saat itu Ratu Syafiatuddin yang sudah diangkat sebagai Sultanah langsung mengutus utusannya untuk melobi Syech Abdul Rauf guna mengetahui apakah Abdul Rauf mendukung kepemimpinan wanita sebagai kepala negara di Kesultanan Aceh. Ternyata dalam hal ini Abdul Rauf mengambil sikap netral dan dapat bersekongkol dengan Sultanah Safiatuddin, hingga Syech Abdul Rauf diangkat menjadi Qadhi Malikul Adil kerajaan Aceh oleh Syafiatuddin menggatikan Sayf al Rijal ulama Wujudiyah asal Miang Kabau yang sebelumnya juga pernah menjadi Qadhi Malikul Adil dikerajaan Aceh pada awal pemerintahan Sutan Iskandar Sani.

Persekongkolan Syech Abdul Rauf dalam mendukung Ratu Safiatuddin sebagai Sultanah (kepala negara wanita) di kerajaan Aceh sepertinya tak bisa dibantahkan. Hal itu terbukti Abdul Rauf bersedia menulis sebuah kitab khusus Mir’at al Thullab yang kemudian kitab itu dipersembahkan kepada Sultanah Safiatuddin. Kitab ini adalah sebuah kitab Fiqh terlengkap karya Syech Abdul Rauf Syiah Kuala. Akan tetapi karena Mir’ar al Thullab ini merupakan kitab pesanan dari Sultanah Safiatuddin, maka dalam kitab tersebut menurur Azyumardi Azra (1994) tidak satu bagian pun yang menyinggung masalah hukum Islam boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin. Yang dikemukakan Abdul Rauf dalam kitab ini malah wanita dibolehkan menjadi hakim. Ini berarti secara tidak langsung dalam kitab tersebut Abdul Rauf ikut membolehkan wanita jadi pemimpin. Pendapat Syech Abdul Rauf ini sebenarnya sangat berbeda dengan kitab Fiqh Syafi’i lainnya yang menyatakan wanita tidak boleh menjadi hakim atau kepala negara.

Dalam hal ini, Syech Abdul Rauf tampaknya sengaja tidak memberikan  fatwa lebih jelas dalam kitab Mir’at al Thullab mengenai syarat-syarat untuk menjadi penguasa atau pemimpin. Jadi sedikit banyak, Syech Abdul Rauf Syiah Kuala-seperti juga Syech Nuruddin Ar-Raniry-dapat dituduh telah mengkompromikan integritas intelektual dan keulamaannya bukan hanya telah menerima pemerintahan seorang wanita di kerajaan Aceh, malainkan kedua ulama ini juga seperti sengaja tidak memecahkan masalah kepemimpinan wanita secara lebih bijaksana.

Padahal, kasus kepemimpinan perempuan di Kesultanan Aceh saat itu bukan tidak berpengaruh pada kemunduran kekuasaan dan peradaban Aceh setelah mencapai puncak kejayaan masa Sultan Iskancar Muda. Malah kita bisa mengindikasikan bahwa awal terjadi runtuhnya Kerajaan Aceh Darussalam sebenarnya jutru ketika Kesultanan Aceh di pegang oleh wanita, yang dimulai dari Sultanah Ratu Safiatuddin hingga tiga Sultanah selanjutnya. Meskipun pemerintahan empat Sultanah ini relatif lama, tapi satu persatu wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Aceh di Semenanjung Melayu dan Sumatera saat melepaskan diri dari kekuasaan Aceh. Hal ini disebabkan makin melemahnya pertahanan keamanan kerajaan Aceh, di samping ketidakstabilan politik dalam negeri Aceh yang diakibatkan oleh kekacauan agama dan politik yang tak mampu dikendalikan para Sultanah sebagai pemimpin kerajaan Aceh ketika itu.

Akibatnya stabilitas politik dan keamanan kerajaan makin tak terkendali. Sehingga satu per satu wilayah taklukan kerajaan Aceh saat itu lepas dari kekuasaan kerajaan Aceh.

Semua itu membuktikan bahwa wanita memang tidak kuat untuk bertahta. Rasulullah memang tidak mengatakan secara tegas wanita tidak boleh menjadi pemimpin. Nabi hanya mengatakan, “Sungguh tidak beruntung bila suatu kaum menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepada wanita”.

Itu sebabnya, mengapa sebagian para ulama kerajaan Aceh dulu, terutama kalangan ulama wujudiah menentang diangkatnya wanita menjadi Sultanah untuk memimpin negara. Tentu saja, penentangan itu selain didasarkan pada hadis di atas, yang kemudian penentangan itu ternyata juga dikuatkan sebuah fatwa ulama Mekkah yang dikirim khusus untuk kerajaan Aceh, yang isi fatwanya adalah bertentangan dengan syariat bila sebuah kerajaan Islam diperintah oleh wanita. Dengan datangnya fatwa ini, maka berakhirlah rezim kepemimpinan wanita di Kesultanan kerajaan Aceh.

Pemimpin Diplomasi

Opini

DI dalam persekutuan untuk mencari pemimpin ideal seperti yang sekarang ini sedang asyik diributkan di Aceh, tidak mungkin berhasil bila tidak memikirkan calon pemimpin yang memiliki kemampuan berdiplomasi untuk menyatukan visi dan fokus pada tujuan serta kepentingan bersama.

Kita semua memang cenderung untuk melupakan pahlawan yang berjuang lewat jalur diplomasi ini. Pembodohan yang telah diterapkan sekian lama membuat kita secara tidak sadar memiliki persepsi bahwa pahlawan itu haruslah mereka yang berjuang lewat jalur angkat senjata, dan melupakan betapa fatalnya sebuah perjuangan bila tidak dilakukan tanpa adanya diplomasi yang kuat. Sehingga kemudian, sosok pemimpin pun haruslah sosok yang memiliki kekuatan dan kekuasaan aliran yang seolah-olah “kuat”. Kuat di luar tetapi sebenarnya lemah di dalam.

Kelemahan inilah yang sebenarnya jauh lebih berbahaya karena kecenderungan sikap manusia untuk menutupi kelemahannya dengan cara yang lebih keras lagi sangatlah dominan, terutama pada mereka yang haus akan ambisi, penuh dengan hasrat, egois, dan tinggi hati. Mereka bisa melakukan apa saja untuk menutupi kebenaran atas fakta dan kenyataan yang ada dengan cara apapun juga, terutama bila dia seorang pemimpin dan penguasa. Apa yang terjadi dengan MoU Helsinki?

Bila saja ini semua diperhatikan dan dicermati dengan baik, maka seharusnya bisa dilawan oleh mereka yang memiliki kemampuan diplomasi dan bernegosiasi dengan baik. Dengan catatan bila memiliki keyakinan penuh atas diri sendiri dan juga diyakini oleh semua pihak untuk mendukungnya.

Belajar dari sejarah di masa lampau saja, ketika masa melawan pemerintahan penjajah Belanda yang sangat keras, feudal, dan otoriter. “Politik etis” pada waktu itu merupakan hasil negosiasi sehingga menjadi peluang emas bagi putra-putri “pribumi”, secara selektif untuk belajar dan mendapatkan pendidikan maju. Para pemimpin Belanda waktu itu sebenarnya sangat berharap agar putra-putri pribumi yang telah mendapatkan pendidikan Belanda akan terlepas dari masyarakatnya sendiri dan bisa mempergunakan tenaga ahli “lokal” di dalam penyelenggaraan pemerintahannya.

Sangat meleset jauh dari perkiraan. Memang banyak yang menjadi pegawai dan alat penjajahan tetapi dari sinilah muncul tokoh-tokoh yang menyusun dan memimpin pergerakan untuk melawan Belanda sendiri dan juga Jepang. “Politik etis” itu pun menjadi bumerang yang mematikan.

Itulah hebatnya “taktik tiga langkah” para pemimpin terdahulu kita. Mereka berani mengambil risiko dan tidak gentar untuk melakukan diplomasi karena mereka tahu persis apa yang harus dilakukan dan juga tahu benar apa yang menjadi kelemahan lawan. Mereka sangat berani, tegas, serta memiliki pengaruh yang sangat kuat di masyarakat dan oleh karena itu pula mereka menjadi sangat disegani bahkan oleh para lawan sekalipun. Sebutlah empat nama, Teuku Nyak Arif, Teuku Cut Hasan Meuraksa, Teuku Mohammad Ali Polem, dan Teuku Mohammad Hasan Glumpang Payong.

Tokoh-tokoh ini sering bertemu dan apa yang mereka bicarakan selalu berkisar pada persoalan bagaimana mencari cara untuk mengusir penjajah dan menjadi merdeka. Walaupun mereka sadar penuh jika tidak banyak yang bisa dilakukan dan mereka seringkali terpaksa harus bekerja sama dengan penguasa. Kerjasama yang tidak selalu mulus juga tentunya.

Pada akhirnya, memang mereka menjadi korban keadaan ketika pergolakan kembali terjadi di Aceh, namun meskipun mereka tidak ada  dalam arti wujud fisik, apa yang telah mereka lakukan tidak pernah mati. Terus berlangsung dan terus ada. Lawan bisa saja menyerang tetapi apa bisa mengalahkan?

Ada sebuah catatan tercecer dari para tokoh pada masa itu, yang saya temukan. Kebetulan para tokoh itu dulu sering berkumpul di rumah keluarga saya di Kotaradja dan banyak catatan yang dibuat dan dicatat lagi kemudian oleh keluarga saya dalam bentuk buku, artikel, atau hanya sekadar coretan. Di dalam catatan tercecer itu tertulis sebuah nasihat yang isinya kurang lebih, “Bila ingin Timur merdeka maka mulailah dari Barat. Bila ingin terang maka janganlah pernah lupakan gelap. Jadilah seorang pemimpin untuk dirimu sendiri, rakyatmu, dan bangsamu. Berilah kemerdekaan dan jadilah selalu penerang.” Sangat dalam dan menjadi pegangan untuk saya sampai saat ini.

Tidak mudah memang untuk menjadi pemimpin yang piawai dalam berdiplomasi dan bernegosiasi. Wawasan yang luas, pribadi yang kuat, pola pikir dan cara pandang yang sehat dan benar, juga hati yang bersih dengan selalu mengedepankan kepentingan orang banyak tentunya menjadi syarat yang penting. Bila ada ketakutan dan kecemasan atas diri sendiri atas perilaku dan nilai yang berlaku, tentunya akan menyiutkan nyali dan keluarnya pun bisa di luar kontrol serta kendali diri. Sementara, pengendalian diri dan keberanian inilah yang sangat dibutuhkan seorang pemimpin diplomasi.

Pertanyaannya, apakah mungkin masih ada yang seperti mereka semua di masa sekarang ini, meski dalam situasi dan kondisi yang berbeda dan apa yang dilawan dan diperjuangkan pun berbeda? Bagaimana dengan Barat sampai Timur? Bagaimana juga dengan “terang” dan “gelap”? Adakah keberanian untuk menjadi pemimpin yang merdeka, memberikan kemerdekaan, dan menjadi penerang?

Bagaimana dengan Risman A Rachman yang menantang semua lewat tulisannya berjudul “Tantangan Memajukan Aceh” (Serambi Indonesia, 23/9/2010)? Seorang inspirator yang namanya tercantum di dalam buku “You Can Inspire” sebagai salah satu inspirator Asia pada tahun 1997. Beranikah menantang diri untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin Aceh mendatang? Kemampuan diplomasinya seharusnya tidak perlu diragukan. Bisa memberikan aspirasi kepada yang lainnya untuk juga maju dan menantang diri.

Sekali lagi saya ingat dengan peribahasa Aceh lama yang memang saya kumpulkan, suatu kebijaksanaan harus melalui mufakat yang bulat, untuk menuju kepada suatu tujuan. Biarpun demikian,”Raja ade, Raje geuseumah, Raja laleem, Raja geusanggah”. Setiap raja yang memerintah dengan adil, bijaksana, pemurah dan jujur perlu diikuti, namun bila raja itu lalim dan bertindak sewenang-wenang dalam memerintah maka sudah seharusnya disanggah.

file:///D:/nugroho%20document/pemimpin-diplomasi.htm